By : Hans Chandra || XII IPA I / 16
Santa Ursula BSD
Pada hari Sabtu, tepatnya pada tanggal 10 September 2011 , saya dan seluruh siswa-siswi kelas XII SMAK Santa Ursula melaksanakan program kegiatan sekolah khusus untuk kelas XII, yakni kegiatan Live in. Kegiatan Live in ini diperuntukkan untuk siswa-siswi kelas XII pada setiap tahunnya. Sekolah memiliki program seperti ini pasti memiliki alasan yaitu untuk mencapai suatu tujuan tertentu untuk setiap anak didiknya agar menjadi pribadi lebih baik, baik bagi diri sendiri maupun saat berinteraksi dengan orang lain. Adapun tujuan dari kegiatan live in adalah agar para siswa-siswi memperoleh pengalaman hidup di desa secara konkrit yang berbeda jauh dengan kehidupan di kota. Kemudian, bertolak dari tujuan awal itu, para siswa-siswi diharapkan agar dapat belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru, dan bersikap lebih mandiri melalui setiap kegiatan yang dilakukan bersama dengan keluarga yang ditinggalinya. Selain itu live in ini dilakukan untuk melatih dan menjadikan pribadi setiap anak didik menjadi pribadi yang lebih tangguh dan siap menghadapi tantangan hidup dengan menggali dan mempelajari nilai-nilai luhur yang bisa kita dapatkan dari sisi kehidupan mereka sehari-hari yang telah dialami selama tinggal bersama di rumah “keluarga baru” kita, seperti bagaimana suasana keluarga mereka, bagaimana cara mereka menerima orang baru di rumah mereka, bagaimana keakraban diantara anggota keluarga dan penduduk sekitarnya, bagaimana mereka bertahan hidup dengan serba keterbatasan, bagaimana mereka berusaha untuk mendapatkan sesuap nasi, bagaimana mereka berusaha untuk meyekolahkan anak-anak mereka, bagaimana kehidupan religius mereka, dan pelajaran hidup lainnya. Maka, diharapkan dengan dilaksanakan kegiatan Live in ini, tujuan-tujuan Live in tersebut dapat terwujud nyata dalam pribadi setiap siswa kelas XII SMA Santa Ursula BSD.
Lokasi Live in yang dituju pada tahun ini sedikit berbeda dengan lokasi live in yang pernah dirasakan oleh kakak-kakak kelas kita sebelumnya, karena lokasi live in yang digunakan selain di Jurang Jero, Tobong, dan Candi Rejo adalah Gebang. Para siswa-siswi kelas XII dibagi ke dalam 3 lokasi tersebut. Lokasi Jurang Jero adalah lokasi live in bagi para siswa kelas XII, sedangkan para siswi kelas XII dibagi ke dalam 3 kelompok untuk menempati lokasi lainnya.
Perjalanan yang kami tempuh mulai dari sekolah pada hari Sabtu sampai kapel di Wonosari pada hari Minggu pagi dengan menggunakan bus kira-kira memakan waktu sekitar 14-15 jam. Setelah sampai di kapel, kami segera melepas lelah setelah menempuh jarak yang sangat jauh itu di dalam bus yang terus berguncang . Di sana kami mendapatkan makanan dan minuman, menyikat gigi, cuci muka, ke toilet, dan beberapa aktivitas lainnya. Setelah 1 jam menunggu akhirnya kami semua dijemput dengan menggunakan 5 truk yang sudah disiapkan. Tanpa menunggu lagi kami segera menaiki truk tersebut. Perjalanan dengan menggunakan truk memang sangat baru bagi saya, dan menurut saya hal tersebut sangatlah seru dan menegangkan, karena terkadang kita harus berpegangan pada teman saat truk mengerem, kadang kita harus berteriak kepada teman-teman di belakang jika ada ranting pohon yang rendah, dan berguncang di bak truk yang sempit.
Setelah sampai pada persimpangan jalan, sudah waktunya bagi truk-truk untuk berpisah. Satu truk ke arah Tobong, satu truk ke arah Gebang, satu truk ke arah Candi Rejo, dan dua truk para siswa yang menuju ke Jurang Jero. Jalanan dari kapel sampai pada persimpangan desa memang halus dan terbuat dari aspal, namun ketika sudah memasuki daerah Jurang Jero, kami bersiap-siap untuk menghadapi jalanan yang bisa dibilang ekstrim. Jalan yang kami lewati dari awalnya landai dan lebar, semakin lama semakin menanjak dan sempit. Dari truk saya melihat, pemandangan di samping kanan saya adalah tebing yang sangat curam, dan samping kiri saya terdapat tebing batu yang ditumbuhi oleh pepohonan jati. Sementara itu, keadaan jalan yang kami lalui sangatlah ekstrim, sudut kemiringannya bahkan sekitar 110 – 130 derajat, sehingga truk yang kami naiki pun perlu “gas pol” ketika tanjakannya begitu tinggi, terutama ketika sudah dekat dengan desa.
Tak lama kemudian sampailah kita pada tanjakan terakhir menuju ke Desa Wonosari, Kecamatan Jurang Jero, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Yogyakarta itu. Sesampainya di sana saya masih belum melihat rumah-rumah para penduduk. Yang dapat saya lihat hanyalah sebuah kapel dan 2 rumah yang berhimpit dengan kapel. Setelah menunggu kira-kira 15 menit, kami pun diajak masuk ke dalam kapel untuk berdoa, penyambutan, dan pembagian tempat tinggal. Setelah beberapa lama di dalam kapel menunggu giliran dipanggil, akhirnya saya dan Chris dipanggil ke depan untuk berfoto dengan ibu tempat kita tinggal, yaitu Ibu Mugi. Kami berdua dengan Ibu Mugi segera keluar menuju ke rumah beliau.
Saya dan Chris berada di kelompok A yang tempat tinggalnya berada kurang lebih hanya beberapa ratus meter dari kapel. Di sana kami berdua dipercayakan menjadi “anak” dari keluarga Pak Margono dan Ibu Mugi di RT 02/017.
Hari pertama kami datang memang kurang berkesan, karena kami berdua disuruh tidur siang oleh Bu Mugi berhubung kami sudah capek setelah perjalanan yang panjang dari Jakarta. Namun berhubung saya penasaran dengan lingkungan Jurang Jero yang masih baru bagi saya, akhirnya saya memilih untuk keliling-keliling rumah dahulu sebelum tidur. Ketika saya berkeliling rumah Pak Margono, ternyata Ibu Mugi sedang santai-santai di bangku di bawah pohon sawo. Langsung saja saya menemani ibu di sana sambil berbincang-bincang. Ketika kami berbincang, Bu Mugi bercerita bahwa sebenarnya mereka mempunyai 3 anak, 1 sudah bekerja di Bekasi, dan 2 lagi yang bernama Dwi Kriswanto dan Anna Widiasri berada di rumah. Mendengar hal itu, saya jadi ingin bertemu dengan mereka berdua, namun karena mereka berdua masih sekolah saat kami datang, kami berencana untuk menemui mereka ketika malam nanti. Sayangnya mereka adalah tipe anak yang pemalu, ketika kami ada di rumah mereka tidur, namun baru kami keluar 15 menit saja mereka sudah tidak ada di rumah.
Hari kedua merupakan awal hari yang baru di sana. Kami berdua ikut dengan ibu kami ke ladang, berhubung bapak kami sedang ikut kerja sambilan membangun rumah. Ladang kami tidak begitu jauh, namun agak sulit jalannya, karena harus melewati jalan-jalan sempit dan batu-batuan yang sangat licin dan terjal. Di sana kami berdua menyiram beberapa tanaman di ladang sambil belajar jenis-jenis tanaman, seperti tomat, jagung, cabai, kacang, dan beberapa tanaman lainnya dengan menggunakan mata air terdekat. Setelah menyiram, kami pindah ke ladang jagung untuk dipangkas sebagai makanan sapi. Baru saja kami memotong dan membawa sedikit tanaman jagung ibu menyuruh kami untuk menuggu di jembatan, sementara ibu sendiri pergi ke atas untuk mencari rumput lainnya. Ibu tidak mau kami direpotkan, bahkan saat saya balik ke atas saja saya disuruh untuk tetap menunggunya di bawah. Kebetulan di jembatan kami bertemu dengan Bobby dan Mike yang sedang menunggu ibunya merumput. Daripada menunggu lama tanpa melakukan apa-apa kami berempat turun ke ladang lain untuk membantu keluarga Ervan dan Reyner mencabut tanaman kacang. Lumayan untuk menambah pengalaman memanen tanaman kacang, berhubung keluarga kami tidak menanam tanaman kacang.
Setelah merumput kami pulang ke rumah sambil membawa seikat jagung di atas kepala. Membawa tanaman jagung dalam perjalanan dari ladang memang tidak terlalu sulit, namun tantangan utama adalah saat menaiki jalan terjal dekat rumah kami. Tanpa membawa beban saja sudah sulit naik ke atas apalagi sambil membawa jagung yang sedikit demi sedikit mulai melorot ke bawah. Tapi untunglah kami selamat sampai di atas. Pulang dari sana kami bersantai di bawah pohon sawo sambil melihat pemandangan di luar. Ketika sedang tidur-tiduran di bawah pohon sawo, kebetulan saya melihat sapi dan kambing keluarga sedang makan rumput. Melihat hal yang tidak mungkin saya temui di kota itu, saya tertarik untuk memberi makan mereka. Akhirnya saya menghabiskan waktu cukup lama untuk memberi makan sapi dan kambing. Setengah jam kemudian saya segera pergi ke kamar dan tidur siang.
Ketika hari menjelang malam kami bertemu dengan Dwi. Pertama kali kami bertemu dengannya, Dwi memang agak pemalu, tapi setelah berbincang-bincang sampai malam kelihatannya Dwi sudah mulai berani menemui kami, bahkan bertemu dengan teman-teman lainnya.
Malam itu, hal yang tidak diduga terjadi. Saya melihat wajah ibu seperti tidak enak badan ketika sedang duduk-duduk di ruang tamu. Setelah kami menanyakan hal itu kepada bapak, bapak memberitahu kepada kami bahwa penyakit darah tinggi ibu kambuh, jadi ibu harus berada di kamar, sementara kami bersama keluarga menghadiri acara doa bersama. Sepulangnya dari doa bersama kami berdua menyempatkan diri untuk berbincang bersama bapak tentang berbagai hal, seperti kehidupan di sana, sejarah, anak-anak dan keluarga, dan lainnya.
Hari berikutnya ibu sudah sehat kembali. Ia mengajak kami berdua pergi ke gunung seberang di kelompok B untuk bertemu dengan ayahnya yang bernama Mbah Gito. Kami datang ke sana juga sekalian untuk mengambil kayu bakar yang dekat dengan rumah Mbah Gito. Ketika mengambil kayu bakar itu kami berdua dilarang naik ke atas dengan alasan kamu berdua kalau sudah naik ke atas tidak akan bisa turun lagi. Namun kami tetap memaksa untuk ikut mengambil kayu bakar di atas. Tanpa berbicara lagi, akhirnya kami berdua memanjat bebatuan sungai dan segera naik ke atas. Di atas kami memaksa untuk ikut mencari kayu-kayu gelondong dan ranting yang tersebar cukup banyak di tanah. Setelah mengambil lima kayu gelondong, saya turun terlebih dahulu melalui batu tadi untukmengikat kayu itu dengan pelepah pisang. Sementara itu Chris bersama dengan ibu turun membawa ranting pohon jati dengan jumlah yang cukup banyak. Setelah kami mendapatkan kayu secukupnya, kami pun segera turun melalui jalan yang kami lalui tadi. Jalan tersebut sangatlah terjal, batu pijakan yang dapat diinjak sangat kecil dan licin, terkadang kami harus melompat karena tidak ada batu pijakan, apalagi kami juga sambil membawa beberapa kilogram kayu bakar yang membuat kami tidak bisa berpegangan jika terpeleset. Tak lama kemudian, setelah berjuang mati-matian membawa kayu bakar yang sangat berat melalui jalanan yang begitu ekstrim, akhirnya kami sampai juga di rumah dengan selamat.
Malam hari itu, sekitar jam enam malam, Bapak Margono menyuruh kami untuk pergi melihat Klaten yang letaknya cukup jauh dari rumah. Dengan tuntunan Dwi dan Raka, akhirnya setengah jam kemudian sampailah kami di dekat gunung seberang, tempat melihat Klaten. Pemandangan yang kami lihat di atas sangatlah indah, belum pernah saya melihat pemandangan seindah itu di kota,berhubung di kota jarang ada tempat-tempat seperti pegunungan. Selain indah, daerah tempat kami melihat pemandangan sangat dingin, sampai-sampai kami bisa tidur-tiduran di jalanan dan di pos dekat tempat itu. Namun, ketika sedang menikmati indahnya pemandangan, Dwi sudah mulai mengantuk pada jam sembilan, oleh karena itu kami pun harus pulang ke rumah.
Esoknya, pagi-pagi benar, setelah bapak sudah berangkat, kami disuruh oleh ibu untuk pergi ke atas Gunung Gambar untuk melihat pemandangan desa Wonosari yang sangat indah. Awalnya kami menolak, namun ibu tetap memaksa dan berkata bahwa ibu tidak pergi ke ladang hari ini. Untuk memastikan, kami menanyakan lagi kepada ibu apakah ada hal lain yang bisa kami bantu. Namun ibu menjawab kalau tidak adalagi yang perlu dibantu, jadi kami berdua disuruh pergi dengan tenang. Tak lama kemudian, akhirnya kami berdua bersama dengan 4 teman lainnya yang juga disuruh pergi ke Gunung Gambar oleh orang tua mereka segera berangkat dengan persediaan 3 botol minum aqua dan 4 roti isi pisang. Untuk sampai ke atas dibutuhkan usaha keras dan pantang menyerah, karena jalanan sampai ke atas sangat jauh, apalagi jalanannya menanjak terus, sehingga menambah beban di kaki. Sekitar satu jam kemudian, akhirnya kami sampai di atas. Baru saja saya istirahat sebentar di sana, beberapa teman sudah mendaki gunung sebelah, oleh karena itu saya juga ikut dengan mereka. Di sana kami melepas lelah di beberapa tempat, yaitu di ujung batu besar yang paling tinggi, di daerah pertapa yang konon merupakan tempat Pangeran Samber Nyowo bertapa, dan tempat peristirahatan tertinggi yang sangat dingin, tempat kami menuliskan nama kami di bebatuannya. Segala usaha dan lelah yang kami hadapi saat memanjat benar-benar terbayarkan ketika sudah sampai di puncak tertinggi.
Malam harinya, seperti biasa, kami berdua, ditemani dengan Bapak Margono dan Dwi menghabiskan waktu sampai jam 10 malam untuk berbincang-bincang terakhir kalinya.
Dari pengalaman saya 4 hari di Desa Wonosari, saya mengalami berbagai macam pengalaman baru yang belum pernah saya rasakan dan alami di kota. Mulai dari kehidupannya, pekerjaan, keluarga, dan orang-orangnya. Namun dari semua itu, yang paling berkesan adalah keramahan orang-orang di sana, terutama ibu saya. Satu hal yang paling berkesan menurut saya adalah ketika ibu saya sakit. Meskipun waktu itu ibu sakit pada hari Senin malam, namun untuk mencari kayu bakar, besok paginya ibu rela membawa kami menuju ke gunung seberang untuk mengambil kayu bakar. Ibu bahkan menyuruh kami untuk membawa sedikit kayu dan tetap bersikeras untuk membawa kayu lebih banyak, padahal di tengah jalan ibu sudah kecapaian dengan hanya membawa beberapa ranting saja. Untung saja kami berdua ditambah bantuan dari teman lain membawa kayu yang banyak, sehingga beban ibu bisa lebih ringan. Selain itu, satu hal yang paling berkesan untuk saya adalah ketika kami semua dikerjai oleh ibu dengan bahasa Jawa. Kami tidak tahu mengapa ibu kami dan ibunya ibu kami tertawa-tawa kepada kita, setelah dijelaskan, ternyata kami dikerjai oleh ibu kami. Dari situ saya mulai belajar menggunakan bahasa Jawa sedikit demi sedikit, sehingga saya mulai fasih dengan logat Jawa.
Dari live in pertama saya, saya belajar banyak nilai hidup yang ditampilkan oleh setiap masyarakat di sana. Dua nilai yang paling menonjol dari warga sekeliling rumah saya adalah semangat kerja keras dan pengorbanan. Hal ini terbukti dari pengorbanan ibu yang demi menghidupi keluarga, beliau rela mengorbankan waktu dan tenaganya meskipun masih sakit, apalagi sakit pusing dan darah tinggi yang jelas-jelas sudah dilarang oleh dokter untuk mengangkat barang-barang yang berat. Namun begitulah sifat seorang ibu, yang siap berkorban demi menghidupi anak-anaknya. Nilai kedua yang saya pelajari yaitu nilai kerja keras. Nilai ini saya pelajari dari ibu ketika beliau mengajak kami berdua untuk mengambil kayu dari rumah Mbah Gitu. Dengan dibantu oleh kami berdua saja, untuk mengangkat kayu bakar yang sangat berat itu dalam jarak beberapa meter sudah sangat melelahkan, apalagi harus mengangkut kayu bakar yang demikian beratnya sendirian dari 1 gunung ke gunung lainnya, yang tentu bukanlah hal yang mudah dilakukan. Dari sinilah saya belajar bahwa untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan dibutuhkan suatu usaha keras dan pantang menyerah, karena terkadang sesuatu yang kita tuju itu bukanlah jalan lurus, melainkan jalan berliku-liku yang harus kita tempuh untuk sampai pada tujuan.
Dalam perbincangan kami dengan Pak Margono pada hari Senin malam, saya mendapati bahwa orang-orang di Desa Wonosari mengalami kecemasan. Kecemasan tersebut jika digolongkan maka termasuk kategori ekonomi, terutama karena harga-harga barang yang bisa dibilang belum adil. Misalnya harga pupuk organik yang bertuliskan “bersubsidi” harganya masih mencapai Rp 900.000, belum ditambah biaya membajak sawah, dan berbagai keperluan lainnya, sementara saat dijual perkilogramnya harga beras turun. Untuk membiayai sekolah ketiga anaknya Pak Margono harus menjual sapinya meskipun harga sapi turun. Sehingga sekarang sapi keluarga hanya tinggal 2 yang kecil, 1-nya pun masih titipan orang.
Keluarga Pak Margono mempunyai sebuah harapan yang tidak muluk-muluk. Bapak Margono dan Bu Mugi berharap agar kedua anaknya ini bisa mengikuti jejak kakaknya yang sekarang bekerja di Bekasi. Mereka akan terus berjuang mencari nafkah dan menghidupi keluarga sampai ketiga anaknya itu besar dan bisa mencari uang sendiri. Bagi masa depan desa itu, Pak Margono berharap agar semakin banyak pendatang dari luar yang mau memberikan bantuan kepada desa Wonosari. Langkah awal yang perlu dan baru saja ditempuhnya dalam 1 hari terakhir adalah menjadi ketua RT. Dengan menjadi ketua RT Pak Margono dapat melakukan perubahan-perubahan untuk menjadikan desa lebih baik
No comments:
Post a Comment